"Tuuuut...Tuuuut..." Suara peluit kereta api yang keras memekakan telingaku, dan membuat ku terbangun dari tidur. Dengan mata yang masih sayu, aku mecoba melihat jam tangan ku, ternyata waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, ini adalah waktunya kereta api ekonomi Tawang Jaya yang ku tumpangi berangkat ke Jakarta. Aku pun sedikit terkejut ketika disebelah ku sudah duduk seorang ibu paruh baya yang sedang sibuk mencium bau minyak kayu putih.
Mata ku masih terasa berat, karena baru saja terbangun dari tidur. Menunggu kereta api berangkat tadi membuat aku ngantuk hingga kemudian terlelap disalah satu tempat duduk penumpang di gerbong paling belakang. Dua tempat duduk didepan ku yang menghadap ke arah ku masih kosong. Ini adalah hari biasa bukan akhir pekan atau hari libur jadi penumpang kereta api relatif sepi dari biasanya. Kereta api pun mulai bergerak perlahan, Hati ku mulai berdebar-berdebar, karena ini adalah perjalanan pertama ku ke Jakarta menggunakan kereta api.
Sesaat kemudian ada seorang pria dewasa yang mengenakan topi merah, mondar-mandir didalam gerbong sambil membawa tas ransel dan sesekali melihat disekelilingnya. Aku pun terus memperhatikan gerak-geriknya, dan muncul kecurigaan di hati ku, bahwa dia adalah seseorang yang mempunyai niat buruk. "Wah, pasti, copet nih" pikirku.
Sesaat kemudian dia berlalu, dan hati ku mulai tenang, karena merasa aman dan jauh dari orang yang aku kira copet tadi. Namun belum ada 5 menit, ketenangan ku pun berubah menjadi rasa cemas dan gelisah ketika pria tadi memutuskan duduk didepan ku. “Aduh, bahaya !”, seru hati ku.
Aku mulai berfikir bahwa aku tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini, karena harus tetap siaga untuk menjaga barang-barang berharga ku. Disepanjang perjalanan, aku terus mengawasi barang-barang ku, dan terus memperhatikan tingkah laku pria itu. Disaat orang lain tidur terlelap, aku harus tetap terjaga agar tidak kehilangan barang berharga ku. Bahkan saat perutku lapar pun, aku tidak berani membeli makanan agar tetap siaga menjaga barang-barang ku yang tertata rapi di goody bag yang kini aku peluk dan ku letakkan di atas pahaku.
Malam pun semakin larut, suasana pun bertambah hening, karena sebagian besar penumpang tidur dengan lelap, hanya kerasnya suara laju kereta api yang meramaikan suasana.
Aku melihat pria tadi mulai tertidur, namun aku harus tetap waspada, karena menurutku tidurnya hanya berpura-pura dan untuk membuat lengah calon korbannya.
Semakin malam, mata ku semakin tak tertahankan, beberapa kali aku harus menguap karena rasa kantuk yang teramat sangat. Tanpa sadar, aku pun mulai terlelap, dan tertidur dengan bersandar di jendela.
Suara keramaian orang-orang pun membangunkan ku, dengan mata yang sayu aku melihat disekilingku banyak orang mulai bergegas untuk turun. Ternyata kereta api sudah sampai di stasiun tujuan.
Aku pun mulai bergegas untuk bangun dan turun dari kereta. Kemudian aku teringat akan pria yang ku kira copet tadi, “ADUH...!!!”, teriaku sambil meletakkan tangan ku di dahi, seraya berfikir bahwa barang berharga ku telah diambil.
Akupun segera memeriksa isi goody bag ku, hampir seluruh sudut goody bag aku periksa, dompet, surat-surat penting, pakaian, walkman, serta cincin emas pemberian ibuku masih terletak pada tempatnya, dan tidak berubah posisi. “Alhamdulilah, gak ada yang ilang”, ucap syukurku, sambil menghela nafas panjang karena hati ku mulai lega.
Sesaat kemudian, adzan subuh berkumandang, aku pun bergegas mencari mushola untuk sholat subuh. Selesai sholat, perutku mulai memberontak, rasa lapar kembali melanda, akupun segera mencari warung makan, untuk mengisi perut yang sudah kosong dari tadi malam.
Selepas makan, aku mulai melangkah untuk keluar stasiun, suasana ramai kota Jakarta benar-benar membingungkan ku, aku pun mulai tak tau harus ke arah mana, karena tujuan utama ku adalah Kota Tangerang. Ayah ku sudah berpesan bahwa nanti begitu sampai distasiun aku harus naik angkot besar (mobil mini bus, ukuran besar) yang jurusannya Tangerang.
Berulang kali aku sudah menolah-noleh untuk melihat sekililing ku, namun tak ada angkot besar yang di katakan oleh ayah ku tadi. Rasa cemas dan takut mulai menyerang hati ku, aku pun berdoa , “ya Tuhan, tunjukanlah angkot besar itu”.
Tiba-tiba, ada seseorang yang menepuk punggungku dari belakang sembari bertanya “Nyari apa mas ?”.
Aku pun menoleh, dan terkejut, ternyata yang sedang bertanya kepada ku adalah pria tadi yang aku kira copet.
“Nunggu angkot arah Tangerang pak” jawabku dengan gugup.
“Oh, mau ke Tangerang, ayo bareng saya saja ?”, tawar pria itu.
“Oh, gak usah pak, terimakasih,” tolak ku, karena merasa tidak enak sudah mengira dia copet tadi malam.
“Gak papa dek, bareng saya saja, itu mobil jemputan saya udah datang, kebetulan saya juga mau ke Tangerang”, tawar pria itu kembali.
Akhirnya akupun menyetujui permintaan pria itu. Kami pun mengobrol didalam mobil, ternyata pria tadi adalah seorang manager di sebuah perusahaan pertambangan batubara yang berkantor di Tangerang dan dia juga orang semarang, dia sangat baik dan ramah, bahkan aku pun diantarkan sampai ketempat tujuan.
Aku masih tak menduga, penampilannya benar-benar tak terlihat seperti orang yang berjabatan tinggi, bahkan sesuatu yang sangat aneh bila seorang manager menumpangi kereta api kelas ekonomi. Namun di balik itu semua, aku sangat menyesal telah berfikir negatif tentangnya.
Tuhan kali ini mengajarkanku tentang bagaimana untuk tidak melihat orang lain dari penampilan luarnya saja, dan mengajarkanku untuk tidak berfikir negatif tentang seseorang.
---
Penghormatan, penghargaan, dan perlakuan baik yang kita berikan kepada orang lain bukan karena pangkat, jabatan, harta, atau penampilan luarnya saja, namun lebih kepada ketulusan untuk memuliakan sesama, jadi kebaikan perilaku kita adalah untuk siapapun bukan kepada orang-orang khusus yang kita pilih.
Dan hal-hal baik yang seharusnya bisa kita lakukan akan tertunda bahkan terbatalkan jika ada pikiran negatif. Berfikir negatif hanya akan menguras pikiran, yang akan merugikan diri kita sendiri, dan berfikir positif adalah ketenangan yang akan membawa kita kepada kedamaian hati, dan membaikan perilaku kita kepada siapapun.
Semarang, 21 Maret 2012
Rizal B Kurniawan
Mata ku masih terasa berat, karena baru saja terbangun dari tidur. Menunggu kereta api berangkat tadi membuat aku ngantuk hingga kemudian terlelap disalah satu tempat duduk penumpang di gerbong paling belakang. Dua tempat duduk didepan ku yang menghadap ke arah ku masih kosong. Ini adalah hari biasa bukan akhir pekan atau hari libur jadi penumpang kereta api relatif sepi dari biasanya. Kereta api pun mulai bergerak perlahan, Hati ku mulai berdebar-berdebar, karena ini adalah perjalanan pertama ku ke Jakarta menggunakan kereta api.
Sesaat kemudian ada seorang pria dewasa yang mengenakan topi merah, mondar-mandir didalam gerbong sambil membawa tas ransel dan sesekali melihat disekelilingnya. Aku pun terus memperhatikan gerak-geriknya, dan muncul kecurigaan di hati ku, bahwa dia adalah seseorang yang mempunyai niat buruk. "Wah, pasti, copet nih" pikirku.
Sesaat kemudian dia berlalu, dan hati ku mulai tenang, karena merasa aman dan jauh dari orang yang aku kira copet tadi. Namun belum ada 5 menit, ketenangan ku pun berubah menjadi rasa cemas dan gelisah ketika pria tadi memutuskan duduk didepan ku. “Aduh, bahaya !”, seru hati ku.
Aku mulai berfikir bahwa aku tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini, karena harus tetap siaga untuk menjaga barang-barang berharga ku. Disepanjang perjalanan, aku terus mengawasi barang-barang ku, dan terus memperhatikan tingkah laku pria itu. Disaat orang lain tidur terlelap, aku harus tetap terjaga agar tidak kehilangan barang berharga ku. Bahkan saat perutku lapar pun, aku tidak berani membeli makanan agar tetap siaga menjaga barang-barang ku yang tertata rapi di goody bag yang kini aku peluk dan ku letakkan di atas pahaku.
Malam pun semakin larut, suasana pun bertambah hening, karena sebagian besar penumpang tidur dengan lelap, hanya kerasnya suara laju kereta api yang meramaikan suasana.
Aku melihat pria tadi mulai tertidur, namun aku harus tetap waspada, karena menurutku tidurnya hanya berpura-pura dan untuk membuat lengah calon korbannya.
Semakin malam, mata ku semakin tak tertahankan, beberapa kali aku harus menguap karena rasa kantuk yang teramat sangat. Tanpa sadar, aku pun mulai terlelap, dan tertidur dengan bersandar di jendela.
Suara keramaian orang-orang pun membangunkan ku, dengan mata yang sayu aku melihat disekilingku banyak orang mulai bergegas untuk turun. Ternyata kereta api sudah sampai di stasiun tujuan.
Aku pun mulai bergegas untuk bangun dan turun dari kereta. Kemudian aku teringat akan pria yang ku kira copet tadi, “ADUH...!!!”, teriaku sambil meletakkan tangan ku di dahi, seraya berfikir bahwa barang berharga ku telah diambil.
Akupun segera memeriksa isi goody bag ku, hampir seluruh sudut goody bag aku periksa, dompet, surat-surat penting, pakaian, walkman, serta cincin emas pemberian ibuku masih terletak pada tempatnya, dan tidak berubah posisi. “Alhamdulilah, gak ada yang ilang”, ucap syukurku, sambil menghela nafas panjang karena hati ku mulai lega.
Sesaat kemudian, adzan subuh berkumandang, aku pun bergegas mencari mushola untuk sholat subuh. Selesai sholat, perutku mulai memberontak, rasa lapar kembali melanda, akupun segera mencari warung makan, untuk mengisi perut yang sudah kosong dari tadi malam.
Selepas makan, aku mulai melangkah untuk keluar stasiun, suasana ramai kota Jakarta benar-benar membingungkan ku, aku pun mulai tak tau harus ke arah mana, karena tujuan utama ku adalah Kota Tangerang. Ayah ku sudah berpesan bahwa nanti begitu sampai distasiun aku harus naik angkot besar (mobil mini bus, ukuran besar) yang jurusannya Tangerang.
Berulang kali aku sudah menolah-noleh untuk melihat sekililing ku, namun tak ada angkot besar yang di katakan oleh ayah ku tadi. Rasa cemas dan takut mulai menyerang hati ku, aku pun berdoa , “ya Tuhan, tunjukanlah angkot besar itu”.
Tiba-tiba, ada seseorang yang menepuk punggungku dari belakang sembari bertanya “Nyari apa mas ?”.
Aku pun menoleh, dan terkejut, ternyata yang sedang bertanya kepada ku adalah pria tadi yang aku kira copet.
“Nunggu angkot arah Tangerang pak” jawabku dengan gugup.
“Oh, mau ke Tangerang, ayo bareng saya saja ?”, tawar pria itu.
“Oh, gak usah pak, terimakasih,” tolak ku, karena merasa tidak enak sudah mengira dia copet tadi malam.
“Gak papa dek, bareng saya saja, itu mobil jemputan saya udah datang, kebetulan saya juga mau ke Tangerang”, tawar pria itu kembali.
Akhirnya akupun menyetujui permintaan pria itu. Kami pun mengobrol didalam mobil, ternyata pria tadi adalah seorang manager di sebuah perusahaan pertambangan batubara yang berkantor di Tangerang dan dia juga orang semarang, dia sangat baik dan ramah, bahkan aku pun diantarkan sampai ketempat tujuan.
Aku masih tak menduga, penampilannya benar-benar tak terlihat seperti orang yang berjabatan tinggi, bahkan sesuatu yang sangat aneh bila seorang manager menumpangi kereta api kelas ekonomi. Namun di balik itu semua, aku sangat menyesal telah berfikir negatif tentangnya.
Tuhan kali ini mengajarkanku tentang bagaimana untuk tidak melihat orang lain dari penampilan luarnya saja, dan mengajarkanku untuk tidak berfikir negatif tentang seseorang.
---
Penghormatan, penghargaan, dan perlakuan baik yang kita berikan kepada orang lain bukan karena pangkat, jabatan, harta, atau penampilan luarnya saja, namun lebih kepada ketulusan untuk memuliakan sesama, jadi kebaikan perilaku kita adalah untuk siapapun bukan kepada orang-orang khusus yang kita pilih.
Dan hal-hal baik yang seharusnya bisa kita lakukan akan tertunda bahkan terbatalkan jika ada pikiran negatif. Berfikir negatif hanya akan menguras pikiran, yang akan merugikan diri kita sendiri, dan berfikir positif adalah ketenangan yang akan membawa kita kepada kedamaian hati, dan membaikan perilaku kita kepada siapapun.
Semarang, 21 Maret 2012
Rizal B Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar