Berprasangka positif atau berpikir positif sebenarnya harus dimulai dengan berperasaan positif atau merasa positif (positive feeling).
Jadi pada mulanya dimulai dari hati. Bagaimana Anda akan berpikir
positif kalau perasaan Anda diliputi oleh ion-ion negatif? Mengejar
kesuksesan dan kebahagiaan dengan berpikir positif saja memang bisa
berhasil. Namun, hasilnya akan lebih optimal jika kita menggunakan
perasaan positif dan menyelaraskannya dengan pikiran positif.
Berapa banyak keinginan yang tercapai ketika perasaan Anda positif
alias ikhlas? Sebaliknya, ketika perasaan Anda negatif alias dipenuhi
nafsu dan emosi, apa yang Anda rasakan? Makin jauh dari “kemudahan”?
Benar sekali.
Bayangkan ketika kita berada di zona nafsu. Kita selalu diliputi rasa
cemas, takut, dan penuh amarah. Alhasil, kita seperti kehabisan tenaga.
Kita seperti memasuki pusaran gelap yang menyedot energi. Semangat pun
tak banyak tersisa karena zona ini memang menarik energy positif yang
kita miliki. Sebaliknya, ketika hati terasa lapang dan ikhlas (positive feeling),
kita akan merasa penuh tenaga. Karena memang energi yang menyelimuti
zona ikhlas adalah berbagai perasaan positif yang berenergi tinggi
seperti rasa syukur, sabar, fokus, tenang dan bahagia.
Itulah sebabnya, di saat-saat energi kita terkuras oleh kesedihan,
kekecewaan, kekesalan, dan kemarahan, cara yang paling bijak adalah
dengan mengikhlaskan sesuatu yang menimbulkan perasaan tersebut. Ikhlas
berarti kita menghentikan proses berkurangnya energi dan mulai melakukan
pengisian ulang (self recovery). Terkadang dalam proses
tersebut kita membutuhkan penyaluran energi positif dari orang lain
lewat kata-kata atau perhatiannya, atau dari alam lewat kesejukan dan
keindahan yang dimilikinya.
Ikhlas Itu Kekuatan (Power)
Pada prinsipnya, ikhlas merupakan keharusan hakiki yang mesti ada
dalam diri setiap orang. Ketika ikhlas itu ada, akan kuat dan tangguhlah
dirinya. Sebaliknya ketika ikhlas telah hilang, maka akan rapuh dan
lemahlah dirinya. Ketika seseorang mengatakan, ”Ikhlaskan saja,” ketika
mengalami kehilangan seseorang atau sesuatu yang dicintainya. Artinya
”Kuatkan kembali dirimu, jangan larut dalam kesedihan yang akan
menghabiskan energi positifmu.”
Hal itu karena manusia itu sendiri diciptakan dari fitrah (ruh
suci, Q.S. al-Rûm/30: 30). Fitrah itu dalam perkembangan hidup di
dunia, tidak selalu suci karena dikotori oleh berbagai faktor eksternal.
Semakin kotor fitrah itu, manusia akan semakin lemah dan rapuh sampai
pada gilirannya merana dan sengsara. Sebaliknya, bila fitrah itu
terus terpelihara, disucikan, dimurnikan, dan dirawat, maka pemiliknya
akan semakin kuat, tegak berdiri, dan kokoh. Ikhlas berfungsi memelihara
fitrah itu agar terus bersih dan murni.
Oleh karena itu, Ibn Hazm menyebutkan bahwa ikhlas ibarat ruh dalam
jasad. Jasad akan mati tak bertenaga ketika kehilangan ruh. Itulah maka
kenapa para generasi salaf dan para mujahid dapat mengantarkan umat
Islam menuju kejayaannya. Karena mereka hidup, memiliki ruh, dan
bangkit. Mereka bekerja dan berjuang semata ikhlas lillahi ta’ala. Amal
perbuatan mereka bergizi, penuh makna, dan kekuatan, karena ada ruhnya,
yaitu ikhlas. Amal yang demikian mengantarkan umat mencapai masa
kejayaannya.
Coba perhatikan para pejuang kemerdekaan negeri ini. Betapa mereka
hidup begitu bersahaja meskipun mereka sebagian menjadi pejabat
pemerintahan. Keikhlasan mereka tercermin dari tidak banyak tuntutan
terhadap kesejahteraan kepada Republik yang baru lahir kala itu. Bagi
mereka kerja adalah sebuah panggilan suara hati. Itulah sebabnya nama
mereka tetap dikenang sebagai pahlawan yang tidak hanya menginspirasi
dengan kata-kata tetapi juga lewat keteladanan.
Berbeda dengan kondisi, dimana setiap orang berbuat penuh pamrih,
ukuran perbuatan dinilai dari banyaknya orang yang terkagum-kagum. Hidup
penuh kebohongan, kemunafikan dan kepura-puraan. Tampak hebat padahal
rapuh, terlihat kaya padahal miskin, kelihatan khusyu’ padahal jahat.
Maka kebobrokan akan melanda pelakunya, keluarga, bangsa dan negaranya.
Hidup serba semu, kekayaan nisbi sebagai hasil korupsi, jabatan diraih
karena penuh tipu dan rekayasa, dan bermu’amalah penuh basa basi menebar
janji tanpa bukti. Ruh telah hilang dari jasad. Ikhlas telah lenyap
dari amal perbuatan.
Ikhlas menjadikan manusia suka berbagi (manusia sosial)
Semakin besar ikhlas melekat dalam hati, keinginan berbagi semakin
besar. Hal itu karena manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang suka
berbagi kesenangan dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak
ikhlas, tidak mau berbuat sesuatu kalau tidak membawa keuntungan
pribadi. Dia hanya mementingkan diri sendiri, menjadi manusia egois.
Manusia egois hatinya selalu berkeluh kesah. Bila ditimpa kesusahan,
resah, dan ketika mendapat kekayaan, amat kikir (QS al-Ma’ârij [70]:
19-21). Sedangkan manusia ikhlas adalah manusia sosial. Dia senang
membagi kesenangan kepada orang lain. Semakin dibagi kesenangan itu,
Allah melipatgandakan dengan berbagai kesenangan yang lain. Dia bahagia
telah membagi, dan gelisah karena belum dapat kesempatan untuk membagi.
Ikhlas menjadikan manusia kaya
Tanda orang kaya dilihat dari pemberiannya. Semakin banyak
pemberiannya, semakin kaya orang itu. Karena orang ikhlas itu suka
berbagi, maka sesungguhnya dia orang kaya, meskipun mungkin miskin
harta. Kalaulah tidak kaya harta, tapi kaya hati, syukur alhamdulillah
bila kaya harta pula. Maka Rasulullah Swa. Bersabda: ”Tangan di atas
lebih baik dari tangan di bawah”. Allah berfirman: ”Kamu sekali-kali
tidak akan mendapatkan kebaikan sehingga mampu memberikan apa yang kamu
cintai”. (Q.S. Ali Imrân [3]: 92). Hanya dengan keikhlasan yang tinggi
seseorang dapat memberikan harta yang paling dicintai. Itulah orang
kaya.
Ikhlas meningkatkan kinerja
Betapa tidak, guru yang ikhlas tidak perlu diawasi oleh kepala
sekolah. Karyawan yang ikhlas, tidak penting direktur ada atau tidak.
Pegawai yang ikhlas, tidak memandang kehadiran majikan. Semua bekerja
tanpa pamrih. Mereka senang melakukan pekerjaan itu dengan sepenuh hati.
Ikhlas beramal hasil maksimal, demikian pepatah mengatakan. Maka hasil
dari perbuatan al-mukhlishîn (orang-orang ikhlas) itu adalah kemajuan, kejayaan, dan kemakmuran.
Ikhlas menciptakan hidup damai
Orang yang ikhlas tidak pernah membuat masalah, sehingga menimbulkan
kekacauan, keributan, dan kerusakan. (Q.S. al-Rûm [30]: 41). Orang yang
ikhlas tidak pula suka menghindar dari masalah, lari dari kenyataan,
lalu menyalahkan orang lain. Orang yang ikhlas adalah manusia problem solver (pemecah
masalah) yang tidak pernah menghindar dari masalah. Dia menghadapinya
dengan gagah berani, mencari solusi dengan cara-cara yang cerdas dan
bijak. Manusia problem solver (pemecah masalah) kokoh berdiri
bagaikan karang, menghadapi masalah dengan jiwa besar yang dibangun dari
ruh ikhlas. Orang ikhlas adalah manusia wajar, santun, ramah tidak
gampang marah.
Digambarkan dalam al-Quran sebagai orang-orang yang berjalan di muka
bumi dengan wajar dan ketika diajak berbicara oleh orang-orang bodoh
mereka menghadapinya dengan salâm (kedamaian). (Q.S. al-Furqân [25]: 36). Masyarakat yang terdiri dari manusia ikhlas akan menebarkan kedamaian, menjadi sebuah dâr al-salâm (negeri damai) yang akan mendapatkan salâm qawlan min Rabb Rahîm (ucapan kedamaian dari Tuhan Yang Maha Penyayang, Q.S. Yâsin [36]: 58). [mk]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar