Senin, 20 Februari 2012

Semangkuk Rasa Syukur

1 jam sudah hujan gerimis turun, secangkir teh hangat masih setia menemani kesendirianku yang duduk santai diteras rumah, sambil menyelami lamunanku tentang masa depan ku yang indah, yang penuh kemapanan dan hidup yang nyaman.

Sesekali bibirku tersungging menghadirkan senyuman, karena aku membayangkan sesuatu yang indah yang penuh kebahagiaan.

"Ting, Ting, Ting," suara piring yang dipukul dengan sendok mengagetkan ku, dan membangunkan ku dari lamunan yang indah. Senyum ku pun memudar seiring bertambah kerasnya suara tadi.

Aku mencoba mencari dari manakah sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari penjual mie ayam keliling, yang sedang berteduh di pos kamling dekat rumah ku. "Wah, hujan-hujan gini, makan mie ayam enak nih!", seru hati ku.

Aku pun masuk ke dapur untuk mengambil mangkuk, sendok dan garpu, kemudian aku berlari menorobos gerimis menuju penjual mie ayam yang sedang berteduh di pos kamling yang berjarak sekitar 20 meter dari rumah ku. Aku tidak tega memanggil penjual itu datang ke rumah ku karena dirumah ku tidak ada tempat berteduh untuk dia dan gerobaknya.

Nafas ku masih terengah-engah ketika aku sampai ke pos kamling tempat punjual mie ayam berteduh. "Kok gak nyuruh saya ke rumah aja mas?" Tanya bapak penjual mie ayam.
"oh, gpp pak, udah laper banget" jawab ku sambil menata nafas yang masih tak teratur.

Segera ku serahkan mangkuk ku kepada bapak penjual mie ayam itu, beliaupun langsung bergegas menyajikan mie ayam kedalam mangkuk yang sudah ku berikan.

Aku pun duduk di pos kamling yang berukuran sekitar 2x2 meter yang terbuat dari bambu dan beratap seng sambil menunggu mie ayam selesai di sajikan. Entah kenapa aku merasa nyaman ketika aku duduk di pos kamling ini, dan tiba-tiba timbul keinginan untuk menikmati mie ayam di pos kamling saja.

"Ini mas, mie ayamnya udah jadi," kata bapak penjual mie ayam.
"Oh, iya pak, saya makan disini saja ya pak?" Tanya ku.
"Iya mas, silahkan" jawab bapak itu dengan senyuman.

Aku pun mulai menyantap mie ayam itu dengan lahap, sesaat kemudian aku melirik kearah bapak itu, beliau tetap berdiri disamping gerobaknya, kelihatanya dia agak segan untuk duduk di dekat ku, karena mungkin takut membuat selera makan ku terganggu.

"mari pak, duduk disini", pinta ku.
"Iya mas" jawabnya sambil bergerak menuju pos kamling dan kemudian duduk disamping ku.

Aku pun mulai mengajak bicara beliau. Beliau adalah seorang ayah yang mempunyai 3 anak yang masih kecil-kecil, yang paling kecil berusia 2 tahun dan yang paling besar baru masuk SMP tahun ini. Beliau berasal dari Kabupaten Purworejo, sebuah kota kecil di selatan Jawa tengah. Jika melihat dari wajah dan fisiknya aku menduga beliau sudah berusia 50 tahunan. Beliau sangat ramah, dan pembicaraan kita pun menjadi sangat hangat dan penuh dengan gurauan-gurauan kecil.

Setelah aku selesai menyantap mie ayam tadi, aku bertanya 'berapa pak?".
"5000 aja mas" jawab bapak itu.

Kemudian aku segera mengeluarkan uang 5000 dari saku celana ku, dan memberikannya kepada bapak tersebut.

"Terimakasih ya pak" kata ku seraya menyerahkan uang tersebut. "Sama-sama mas" jawab bapak itu.

Kemudian aku berjalan pulang sambil membawa mangkuk bekas mie ayam tadi, kali ini aku tidak berlari, karena perutku masih penuh, dan hujan pun juga mulai reda.

Baru 5 langkah aku berjalan, aku mendengar suara gerobak itu mulai bergerak, "mungkin bapak itu akan mulai berkeliling lagi untuk menjual mie ayamnya" pikir ku.

Namun suara tadi terdengar begitu janggal, aku pun menoleh dan ternyata bapak tadi kesusahan mendorong gerobaknya melewati polisi tidur yang berada didepan pos kamling.

Hati ku tergetar melihat tubuh bapak yang rapuh tersebut berusaha keras mendorong gerobak. Tanpa pikir panjang, aku pun bergegas menghampiri dan membantu bapak itu mendorong gerobak.

Aku pun mulai mencoba ikut mendorong, aku merasakan begitu beratnya gerobak itu, aku pun harus sekuat tenaga membantu bapak itu mendorong gerobaknya.

"Gila, berat banget" seru hati ku.
Dengan satu dorongan kuat dari kita berdua secara bersamaan, akhirnya gerobak pun berhasil melewati polisi tidur tadi.
"Terimakasih ya mas?" Kata bapak itu.
"Oh, iya pak, sama-sama" jawab ku.

Bapak itu kemudian melanjutkan perjalanannya untuk berkeliling menjual mie ayam, aku memandanginya dari belakang, terlihat beliau begitu susah payah untuk mendorong gerobak tersebut, padahal beliau tidak hanya berkeliling satu kompleks perkampungan saja, tapi juga banyak kompleks.

Aku tidak bisa membayangkan betapa susahnya beliau menjalankan usaha mie ayamnya ini, pasti luar biasa capeknya.

Mulai dari membeli bahan baku, menyiapkan segala hal yang akan di jual, membuat mie, hingga mendorong gerobaknya yang berat berkeliling dari satu kampung ke kampung yang lain, belum lagi kalo dagangannya tidak laku, pasti jadi basi dan harus dibuang, pasti beliau akan merugi. Aku tak kuasa untuk membayangkan jika beliau bersusah payah mendorong gerobaknya seharian hanya untuk merugi.

Aku pun kembali teringat akan lamunan ku tentang masa depan yang indah, tak pernah terbayangkan oleh ku jika aku nanti harus menjual mie ayam dengan mendorong gerobak berkeliling seperti bapak tadi. Aku pun bahkan tak sempat untuk bersyukur bahwa pekerjaan ku saat ini tidak seberat pekerjaan bapak penjual mie ayam tadi.

Aku selama ini hanya selalu mengeluh tentang pekerjaan ku, dan selalu mengharapkan pekerjaan yang lebih nyaman dan lebih baik, namun aku juga tak pernah menyadari bahwa ada orang yang masih bersusah payah dalam mencari pekerjaan, dan masih bersusah payah menjalani pekerjaan yang lebih berat dari ku.

Oh, Tuhan maafkan aku, aku tak pernah bersyukur atas pemberianMu, aku hanya bisa mengeluh, dan selalu meminta lebih, lebih, dan lebih.

---

Mensyukuri pemberian Tuhan adalah sebuah keindahan hati yang mengindahkan perilaku, dan memacu hadirnya rasa ikhlas dihati. Mari kita wujudkan rasa syukur kita dengan memberi dan berbagi kepada sesama yang membutuhkan bantuan kita.

Semoga bermanfaat.

Semarang, 20 februari 2012
20.51 WIB
Rizal B Kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar