Dalam keseharian, ketika berselisih dengan orang lain, pada umumnya setiap orang tentu menganggap diri sendiri paling benar, selalu berkata lantang tanpa mau saling mengalah, semua hanya demi ingin menang, selalu saja disebabkan tidak mampu menahan sabar, lalu membuat diri sendiri terjerumus ke dalam pusaran kerisauan dan penderitaan.
Kesabaran besar adalah ketika kesabaran itu tidak lagi menjadi beban pikiran
Ada seorang gadis belia yang penuh rasa kesal karena merasa dipersalahkan datang mengadu pada Master: “Saya sudah berusaha dengan segenap hati dan segenap tenaga dalam bekerja, selalu mengambil alih pekerjaan yang tidak mau dilakukan teman kerja lainnya; biar sesusah apa pun, saya sanggup menahannya, namun jerih payah saya ini bukan saja tidak mendapatkan pujian, malah dicurigai orang, saya sungguh tidak sanggup lagi menahan sabar.”
Master mengatakan padanya: “Kesabaran sejati adalah bukan saja harus menahan sabar, bahkan sampai tidak membebani perasaan sendiri, barulah merupakan kemampuan sesungguhnya.”
Kesabaran bagai sekeping batu yang menutupi tanah berumput, walau pun benih rumput di dalam tanah tidak mampu tumbuh keluar, namun ketika suatu waktu nanti jalinan jodohnya matang, rumput akan tumbuh menembus celah batu. Jadi bukan saja harus “sabar”, malah mampu menelan dan mencerna perasaan “sabar” sampai taraf di mana kesabaran itu tidak lagi menjadi beban pikiran.
Seperti makanan selezat apa pun, harus melalui proses kunyah, telan dan cerna, barulah gizinya dapat diserap dan ampasnya dikeluarkan. Ketika orang lain mengatakan hal yang kurang enak didengar, jika tidak mampu dicernakan, tentu akan menjadi bayangan gelap dalam batin; jika yang berkata tidak sengaja melakukannya, kenapa pula kita harus sengaja menaruhnya dalam hati?
Penuh pengertian dalam kegagalan, demi melatih diri sampai taraf kesabaran tanpa membebani pikiran.
Setelah mendengar perkataan itu, walau matanya masih dipenuhi genangan air mata, dia sudah bisa berkata dengan gembira: “ Master, saya sudah mengerti, itu disebabkan rasa harga diri saya terlalu besar, sehingga sepatah kata kritik saja dari orang lain, langsung timbul kerisauan dalam hati saya.”
Master mengatakan: “Ketika rasa harga diri seseorang terlalu besar, selalu saja merasa diri sendiri telah berbuat sangat baik dan sepantasnya mendapatkan pujian, bukan kritikan orang. Ini adalah membesarkan diri sendiri yang membentuk ‘keegoisan’. Karena rasa harga diri terlalu besar, maka penetapan standar terhadap diri sendiri jadinya terlalu tinggi, begitu ada yang tidak sesuai keinginan, lalu timbul rasa rendah diri, lalu berubah menjadi ‘keangkuhan karena menganggap sendiri lebih hina’ ketika berhadapan dengan orang --- karena merasa rendah diri lalu bersikap angkuh, merasa tidak senang terhadap segala hal dan semua orang.”
Gadis belia ini berkata: “Ketika dulu bekerja di tempat lain, saya selalu merasa teman kerja berhutang maaf dan merasa sangat risau, maka saya meminta agar dimutasikan, sekarang kalau dipikirkan kembali, sebetulnya teman sekerja dulu semuanya sangat baik, diri saya sendiri yang tidak benar.”
Pada tempat kerjanya yang baru, dia tetap menemui banyak kegagalan dan kerisauan, setelah melalui semua tempaan ini, dia teringat akan kesalahannya di masa lalu dan melakukan introsepksi diri, sehingga pandangannya terhadap kehidupan menjadi berubah drastis.
Pokok persoalan “kesabaran tanpa membebani pikiran” terletak pada diri sendiri yang tidak mampu bersabar, jika dapat berpengertian pada segala hal dan setiap orang dengan hati bersyukur dan berlapang dada, tentu akan dapat mencapai taraf “kesabaran tanpa membebani pikiran”, selalu bersuka cita dan bebas dari beban pikiran.
Ceramah Master Cheng Yen 16 Oktober 1990
Sumber :
http://www.facebook.com/pages/Tzu-Chi-Indonesia/88437252709
Semoga bermanfaat :)
Kesabaran besar adalah ketika kesabaran itu tidak lagi menjadi beban pikiran
Ada seorang gadis belia yang penuh rasa kesal karena merasa dipersalahkan datang mengadu pada Master: “Saya sudah berusaha dengan segenap hati dan segenap tenaga dalam bekerja, selalu mengambil alih pekerjaan yang tidak mau dilakukan teman kerja lainnya; biar sesusah apa pun, saya sanggup menahannya, namun jerih payah saya ini bukan saja tidak mendapatkan pujian, malah dicurigai orang, saya sungguh tidak sanggup lagi menahan sabar.”
Master mengatakan padanya: “Kesabaran sejati adalah bukan saja harus menahan sabar, bahkan sampai tidak membebani perasaan sendiri, barulah merupakan kemampuan sesungguhnya.”
Kesabaran bagai sekeping batu yang menutupi tanah berumput, walau pun benih rumput di dalam tanah tidak mampu tumbuh keluar, namun ketika suatu waktu nanti jalinan jodohnya matang, rumput akan tumbuh menembus celah batu. Jadi bukan saja harus “sabar”, malah mampu menelan dan mencerna perasaan “sabar” sampai taraf di mana kesabaran itu tidak lagi menjadi beban pikiran.
Seperti makanan selezat apa pun, harus melalui proses kunyah, telan dan cerna, barulah gizinya dapat diserap dan ampasnya dikeluarkan. Ketika orang lain mengatakan hal yang kurang enak didengar, jika tidak mampu dicernakan, tentu akan menjadi bayangan gelap dalam batin; jika yang berkata tidak sengaja melakukannya, kenapa pula kita harus sengaja menaruhnya dalam hati?
Penuh pengertian dalam kegagalan, demi melatih diri sampai taraf kesabaran tanpa membebani pikiran.
Setelah mendengar perkataan itu, walau matanya masih dipenuhi genangan air mata, dia sudah bisa berkata dengan gembira: “ Master, saya sudah mengerti, itu disebabkan rasa harga diri saya terlalu besar, sehingga sepatah kata kritik saja dari orang lain, langsung timbul kerisauan dalam hati saya.”
Master mengatakan: “Ketika rasa harga diri seseorang terlalu besar, selalu saja merasa diri sendiri telah berbuat sangat baik dan sepantasnya mendapatkan pujian, bukan kritikan orang. Ini adalah membesarkan diri sendiri yang membentuk ‘keegoisan’. Karena rasa harga diri terlalu besar, maka penetapan standar terhadap diri sendiri jadinya terlalu tinggi, begitu ada yang tidak sesuai keinginan, lalu timbul rasa rendah diri, lalu berubah menjadi ‘keangkuhan karena menganggap sendiri lebih hina’ ketika berhadapan dengan orang --- karena merasa rendah diri lalu bersikap angkuh, merasa tidak senang terhadap segala hal dan semua orang.”
Gadis belia ini berkata: “Ketika dulu bekerja di tempat lain, saya selalu merasa teman kerja berhutang maaf dan merasa sangat risau, maka saya meminta agar dimutasikan, sekarang kalau dipikirkan kembali, sebetulnya teman sekerja dulu semuanya sangat baik, diri saya sendiri yang tidak benar.”
Pada tempat kerjanya yang baru, dia tetap menemui banyak kegagalan dan kerisauan, setelah melalui semua tempaan ini, dia teringat akan kesalahannya di masa lalu dan melakukan introsepksi diri, sehingga pandangannya terhadap kehidupan menjadi berubah drastis.
Pokok persoalan “kesabaran tanpa membebani pikiran” terletak pada diri sendiri yang tidak mampu bersabar, jika dapat berpengertian pada segala hal dan setiap orang dengan hati bersyukur dan berlapang dada, tentu akan dapat mencapai taraf “kesabaran tanpa membebani pikiran”, selalu bersuka cita dan bebas dari beban pikiran.
Ceramah Master Cheng Yen 16 Oktober 1990
Sumber :
http://www.facebook.com/pages/Tzu-Chi-Indonesia/88437252709
Semoga bermanfaat :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar